Menteri LH: Polycrisis Ancam Indonesia, Intelektual Harus Tampil Jadi Solusi
JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup (LH), Hanif Faisol Nurofiq menegaskan peran penting intelektual dalam menghadapi polycrisis atau tumpang tindih berbagai krisis global, mulai dari iklim, energi, pangan, kesehatan, hingga geopolitik.
“Dunia saat ini tengah menghadapi apa yang disebut sebagai polycrisis, tumpang tindih krisis iklim, energi, pangan, kesehatan, hingga geopolitik yang saling memperkuat dampak satu sama lain,” kata Hanif dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Dalam kegiatan Orientasi Pendidikan dan Kemahasiswaan Mahasiswa Baru Pascasarjana Universitas Brawijaya Tahun Ajaran 2025/2026 di Malang, Jawa Timur, Senin (18/8), Hanif menekankan bahwa Indonesia tidak kebal dari ancaman polycrisis.
Menurutnya, perguruan tinggi dan mahasiswa pascasarjana justru memiliki peran strategis untuk menjadi motor perubahan di tengah situasi penuh ketidakpastian.
“Polycrisis adalah kondisi ketika berbagai krisis besar terjadi bersamaan dan saling memperburuk dampaknya. Misalnya, perubahan iklim dapat memicu kerawanan pangan dan konflik sumber daya,” ucap Hanif.
Oleh sebab itu, Hanif menilai diperlukan kolaborasi lintas sektor, inovasi, dan kepemimpinan visioner untuk membangun ketahanan bangsa.
Mengutip laporan UNEP 2024 Navigating New Horizons, Menteri LH Hanif Faisol menekankan bahwa dunia sedang jauh tertinggal dari pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Untuk itu, lanjut dia, diperlukan langkah nyata dalam membangun resiliensi bangsa melalui kebijakan berbasis bukti, inovasi berkelanjutan, serta kolaborasi lintas sektor (pentahelix).
“Indonesia sudah menargetkan agenda strategis seperti pencapaian FOLU Net Sink 2030, transisi energi berkeadilan, dan ekonomi sirkular. Semua ini membutuhkan kontribusi nyata dari kampus, baik dalam bentuk riset, inovasi teknologi hijau, maupun penguatan literasi publik,” ujar Hanif.
Selain itu, Hanif mendorong agar mahasiswa pascasarjana menjadi intelektual yang bukan hanya akademis, tetapi juga mampu menavigasi kompleksitas zaman.
Lebih jauh, ia menekankan transformasi menuju Industri 5.0 yang berpusat pada manusia, keberlanjutan, dan resiliensi.
Perguruan tinggi, Kata Hanif, harus menjadi pusat pengetahuan (knowledge hub) sekaligus etika publik agar perkembangan teknologi tidak menimbulkan kesenjangan baru, melainkan menjadi instrumen solusi untuk kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
“Indonesia Emas 2045 hanya bisa diwujudkan apabila kita melahirkan intelektual pascasarjana yang profesional dalam bidangnya, berintegritas menjunjung etika, dan visioner melihat tren global,” pungkasnya.