Dikritik Minim Inovasi, BPKH Balik Tegaskan Dana Haji Harus Bebas Risiko
JAKARTA – Anggota Badan Pelaksana BPKH, Indra Gunawan menanggapi kritik dari Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang yang menilai pengelolaan dana haji terlalu hati-hati dan minim inovasi.
Menurut Indra, prinsip kehati-hatian yang dijalankan BPKH bukan tanpa alasan, melainkan bentuk perlindungan terhadap dana milik umat.
“Kami tidak punya saham, tidak punya cadangan kerugian, dan tidak memiliki ekuitas layaknya lembaga keuangan pada umumnya. Dana yang kami kelola adalah dana titipan dari umat. Kalau terjadi kerugian, tanggung jawabnya bersifat tanggung renteng sesuai amanat undang-undang. Ini bukan persoalan bermain aman, tapi soal akuntabilitas dan tanggung jawab hukum,” ujar Indra di Jakarta, Minggu (3/8/2025).
Indra mengatakan, selama tujuh tahun berdiri, BPKH belum pernah mengalami kredit macet ataupun investasi bermasalah. Audit dari BPK juga menunjukkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) secara konsisten.
“Kami tidak ingin masuk ke ranah investasi spekulatif hanya demi mengejar return tinggi, tapi malah menanggung risiko kerugian 100 persen,” ucapnya.
Dia mencontohkan negara lain seperti Malaysia yang mengalokasikan lebih dari 50 persen investasinya ke sektor riil, tetapi sempat mengalami penurunan imbal hasil hanya 1,75 persen.
“Jadi, investasi langsung tidak selalu menjamin hasil lebih besar. Justru resiko kerugiannya bisa sangat besar, dan itu yang kami hindari,” katanya.
Indra juga menanggapi kritik Marwan soal dominasi investasi pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang dianggap menghasilkan return rendah.
Ia menyebutkan, saat ini SBSN masih menjadi instrumen yang paling aman dan likuid, dengan imbal hasil kompetitif sekitar 7,5 hingga 8,5 persen.
“Coba dicek lembaga publik lain yang sukses berinvestasi di sektor riil. Hampir tidak ada. Sementara kami, dengan investasi di SBSN, masih bisa memberikan nilai manfaat yang cukup dan terukur tanpa mencetak volatilitas harga seperti saham,” jelasnya.
Menurut Indra, BPKH memilih instrumen yang bisa diukur risiko dan jangka waktunya, sesuai dengan prinsip liability driven investment (LDI).
“Dana haji itu harus tersedia ketika dibutuhkan. Karena itu, aset kami kelola sesuai jangka waktu kebutuhan, agar tidak terjadi mismatch saat jamaah membutuhkan dana,” ujarnya.
Mengenai target nilai manfaat sebesar Rp 12 triliun yang tidak tercapai (hanya Rp 11,4 triliun), Indra menyebutkan setidaknya ada tiga penyebab utama.
Pertama, kenaikan setoran awal jamaah dari Rp 25 juta menjadi Rp 35 juta yang belum terealisasi karena belum disetujui DPR sebagai bagian dari perubahan undang-undang.
“Kedua, belum adanya kebijakan pembayaran angsuran bagi jamaah, yang jika diterapkan akan memperkuat dana kelolaan. Ketiga, penarikan dana haji secara besar-besaran pada awal tahun 2025 untuk persiapan operasional haji, yang menyebabkan BPKH kehilangan potensi nilai manfaat sebesar Rp 600-800 miliar,” jelas Indra.
Menurutnya, jika dana Rp 17 triliun itu bisa dikelola selama enam bulan saja, maka potensi nilai manfaatnya sangat besar. Namun, karena kebutuhan operasional, dana tersebut harus segera dicairkan ke Kementerian Agama, sehingga tidak sempat diputar untuk investasi.
Meski menghadapi tantangan, Indra tetap optimistis pengelolaan dana haji ke depan bisa lebih optimal jika tiga hal tersebut bisa diperbaiki.
“Kalau kebijakan angsuran disetujui, dan penarikan dana bisa dilakukan lebih presisi sesuai kebutuhan operasional, kami yakin nilai manfaat bisa lebih tinggi tahun depan,” ucapnya.
Indra menegaskan, BPKH bekerja dengan prinsip rasional dan efisien, bukan spekulatif.
“Tugas kami adalah menjaga amanah umat, bukan mengejar untung sebesar-besarnya. Yang pasti, kami tidak ingin karena satu keputusan, kepala kami harus tertunduk di kejaksaan atau media akibat investasi yang ugal-ugalan,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengkritik pengelolaan dana haji. Menurut dia, BPKH sebagai lembaga yang bertugas mengelola dana haji masyarakat, selama ini terlalu berhati-hati dalam berinvestasi.
Lebih lanjut, Marwan menilai, BPKH cenderung hanya menempatkan investasi di SBSN. Akibatnya, hasil investasi tidak maksimal sehingga beban biaya haji semakin berat bagi calon jamaah haji.
“Dulu, waktu dana masih dipegang Kementerian Agama (Kemenag RI), hasilnya sama saja—sekitar 6,5 persen. Jarang sekali bisa mencapai 8 persen. Mengapa? Karena, penempatannya hanya di surat berharga syariah (SBSN) yang hanya menghasilkan sekitar 7 persen selama 5 tahun,” ujar Marwan dalam diskusi bertajuk “Public Awareness: Pengelolaan Dana Haji Berkeadilan di Investasi Surat Berharga BPKH” di kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Jumat (1/8/2025).